JAKARTA (TASHIH MUI) Lembaga Pentashih Buku dan Konten Keislaman Majelis Ulama Indonesia (LPBKI MUI) bekerja sama dengan Majelis Pemuda Islam Indonesi
JAKARTA (TASHIH MUI) Lembaga Pentashih Buku dan Konten Keislaman Majelis Ulama Indonesia (LPBKI MUI) bekerja sama dengan Majelis Pemuda Islam Indonesia (MPII) menggelar Webinar tentang Penentuan 1 Ramadan dan Khazanah Kalender Nusantara, Kamis (24/3).
Acara ini diliput oleh TV MUI serta dibuka oleh Dr. K.H. Marsudi Suhud, M.M. (Wakil Ketua Umum MUI). Dia menyampaikan bahwa ilmu penentuan kalender ini sangat penting karena sangat berpengaruh untuk menentukan kapan dimulainya ibadah Ramadan.
Selain itu ia pun berpesan mengenai perbedaan penetapan awal Ramadan itu sudah biasa, “kita sudah diajarkan bagaimana cara menyikapinya”.
Kementerian Agama sampai hari ini selalu menyatukan perbedaan-perbedaan dalam penentuan Ramadhan dengan diadakannya sidang itsbat. Empat mazhab sepakat bahwa bulan Ramadan hanya bisa menggunakan metode rukyah atau observasi dengan melakukan istikmal atau menyempurnakan bulan Syaban menjadi 30 hari. Berdasarkan dalil فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ dan shumu ru’yati.
Pendapat kedua menurut Ibnu Subki dan Ibnu Furaij berpendapat bahwa awal Ramadhan bisa ditentukan dengan metode hisab dengan dalil “yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan dialah yang menetapkan orbitnya sebagai bilangan waktu” jika kalian melihat hilal Ramadhan maka berpuasalah, jika kalian melihat hilal Syawal maka berbukalah, dan jika hilal terhalangi maka perkira-kiralah, disini manusia dianjurkan untuk menghitung tanggalan dengan metode hisab.
Selanjutnya Dr. H. Amirsyah Tambunan, M.A. (Sekjen MUI) menyampaikan dalam Tafsir Munir karya Syekh Wahbah Zuhaili dijelaskan bahhwa bumi berotasi dan mengitari garis edarnya. Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu berotasi, Prof. Quraish Shihab menafsirkan matahari seperti dengan gerakan lari yang berotasi dengan cepat. Keterbatasan mata manusia inilah yang menyebabkan ada hisab untuk membantu perhitungan bulan. Perbedaan dalam permasalahan pendekatan hisab dan rukyat itu sebuah keniscayaan, disatu sisi untuk memahami dan sebagai bentuk toleransi. Beliau menegaskan 1 Ramadannya sama, namun yang berbeda adalah tanggal penetapannya. Kajian ini sering dilakukan dan diharapkan untuk melengkapi kajian kajian sebelumnya.
Sambutan dari Prof. Endang Soetari Nd, M.Si. (Ketua LPBKI MUI) menyampaikan bahwa LPBKI MUI mendukung kegiatan-kegiatan yang mendukung, termasuk kegiatan pada hari ini yang dimana membahas permasalahan hisab dan rukyat.
Prof. Endang mengucapkan terimakasih banyak kepada pihak-piahk yang mendukung terselenggaranya kegiatan ini.
Sambutan yang terakhir oleh Nurhamim. (Wakil Ketua Umum MPII). Dengan dibacakannya surat Yunus, tentu saja sangat berkaitan dengan tema hisab dan rukyat ini. MPII turut menyokong dan mendukung MUI dalam hal intelektual. Kader MPII berperan besar di MUI, salah satunya adalah dengan hadirnya kiai Ali Shodiqin yang baru saja menemukan kalender bahari nusantara.
Prof. Susiknan membahas model hisab dalam sudut pandang Majelis Tarjih Muhammadiyah. Sisitem pemahaman keagamaan Muhamadiyyah daintaranya; a) Wawasan (Tajdid, Toleransi, Keterbukaan, Tidak terafiliasi Madzhab). b) Sumber Ajaran (Al-Qur’an dan Sunnah). c) Pendekatan (Bayani, Burhani dan Irfani). d) Prosedur/Teknis. Kemudian ia memberikan informasi bahwa konsepsi kalender Islam merujuk kepada beberapa nas atau ketentuan berikut:
1. Satu tahun 12 bulan;
2. Hilal;
3. Konjungsi;
4. Hisab-Rukyah;
5. Umur bulan 29 atau 30 hari;
6. Batas geografis.
Perbedaan inilah menyebabkan digenapkannya umur bulan menjadi 30 hari atau 29 hari, tergantung dari pada geografis dan juga juru hilal dan rukyah.
Ia pun memaparkan mengenai Hisab Hakiki Wujudul Hilal, yaitu:
1. Telah terjadi Ijtima’ (Konjungsi);
2. Ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam;
3. Pada saat terbenamnya matahari piringan diatas bulan berada diatas ufuk (bulan wujud baru) biasa diistilahklan (moonset after sunset).
Ketika umat Islam Indonesia telah menaruh perhatian lebih terhadap kalender atau penetapan tanggal sama saja bahwa umat Islam Indonesia telah melakukan kontribusi besar bagi dunia. Di akhir materinya ia mengatakan: “Kita harus dewasa terhadap mazhab hilal dan mazhab hisab”, pungkasnya.
Materi kedua diisi oleh Dr. H. Adib M.M. (Direktur Urusan Pembinaan Syariah Kemenag RI). Doktor Adib mengapresiasi upaya yang dilakukan para ulama dan ilmuan sebagi bentuk ijtihad yang luar biasa dalam pelayanan umat dalam menentukan 1 Ramadan. Sidang itsbat dilakukan oleh Kemenag dalam menetukan 1 Ramadan dan 1 Syawal.
Ia pun menyampaikan informasi kepada khalayak umum, bahwa pada tahun ini sidang itsbat akan dilaksanakan pada tanggal 1 April 2022 untuk menentukan 1 Ramadan 2022 melalui sistem hybrid dan daring, semua anggota yang hadir sudah dicek kesehatannya secara ketat. Dengan agenda acara: 1. Paparan Hisab; 2. Laporan Rukyah; 3. Sidang Itsbat; 4. Telekonferensi.
Lanjutnya, terdapat 101 titik rukyatul hilal yang ada di Indonesia. Sebelumnya pada tanggal 22-23 Februari 2022 yang lalu, para ahli rukyat sudah melakukan pertemuan di Serpong Kota Tangerang Selatan Banten untuk persiapan penetapan awal Ramadan.
Pada Tahun 2021 para menteri agama yang tergabung dalam MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, dan Singapura) menyetujui penerapan kriteria imkanur rukyat MABIMS baru, yaitu tinggi hilal 3 derajat dan sudut elongasi 6,4 derajat pada tahun 2022.
Di akhir presentasinya, dikatakan bahwa Kementerian agama akan melakukan berbagai macam fasilitas agar ada kesamaan dalam penetapan awal Ramadan.
Narasumber selanjutnya Mochamad Ali Shodiqin (Penemu Kalender Bahari nasional). Pak Shodiqin menginformasikan bahwa penentuan awal bulan sangat berpengaruh untuk memprediksi munculnya ikan. Perbedaan kriteria sangat bepengaruh dalam perbedaan awal ibadah, varian kalender hijriah di antaranya adalah kalender hijriah nasional, kalender global, Jawa Madura, dan ormas atau komunitas.
Menurutnya, “Apabila rukyah tidak terlihat maka puasa akan bertepatan dengan kalender Jawa. Kalender Jawa merupakan bentuk “islamisasi” Jawa dengan menghilangkan bulan ke-12. Bulan-bulan hijriah sudah ada sebelum adanya Islam, kalender Saka menyesuaikan dengan pergerakan roda ekonomi. Kalender hijriah Arab memiliki perkembangan sehingga bermutasi menjadi berbagai macam varian, sehingga muncul kalender lokal yang memakai perhitungan hijriah, Muhammadiyah memakai kalender Islam Global sebaliknya NU lebih plural.”
“Kalender Bahari membantu nelayan untuk mencari ikan, disesuaikan dengan arah mata angin,” pungkasnya.
Narasumber yang terakhir Prof. Dr. Thomas Jamaluddin (Peneliti Astronomi Pusat Riset Astronomi BRIN). Prof. Thomas membahas potensi terjadinya perbedaan penentuan awal bulan Ramadan. Menurutnya, hal ini bisa terjadi karena kriteria penentuan awal bulan Ramadan berbeda-beda. Menurutnya, alat bantu rukyat dianggap tidak terlalu membantu dalam menentukan hisab, sedangkan hisab sendiri mengalami perkembangan. Semakin besar elonasi bulan akan terlihat, faktor pengganggu terlihatnya hilal adalah sinar senja matahari.
“Menyatukan kriteria sangat penting dan ini harus didasarkan kepada dalil syar’i, dan ini harus didukung dengan adanya wujudul hilal dan juga dengan didukung kajian astronomis yang sahih.”
Kriteria harus mengupayakan titik temu pengamal rukyah dan pengamal hisab. Upaya unifikasi kalender islam sudah diupayakan oleh MUI dengan adanya rekomendasi fatwa MUI 2004. MUI pada 2015 sudah mengadakan halaqah astronomi Islam sebagai upaya penyatuan kalender Islam. Begitu pun pada 2016 telah diadakan eminar Fikih Falak, rekomendasi Jakarta 2017 atau dikenal dengan sebutan MABIMS. Ketentuan MABIMS minimal 3 derajat untuk posisi hilal 3, kriteria hilal yang tidak bisa dipisahkan pada rekomendasi jakarta 2017.
Kriteria awal bulan adalah elongasi bulan minimal 6,4% dan tinggi bulan 3% pada kawasan barat Asia Tenggara. Batas tanggal internasional dijadikan sebagai batas tanggal kalender Islam, OKI menjadi otoritas tertinggi dalam hal ini. Ada potensi perbedaan awal Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha pada tahun 1434 H ini.
Diskusi ini berjalan lancar dan sukses, dipandu oleh Gus Roqiyul Ma’arif Syams anggota LPBKI-MUI, dan diakhiri dengan doa dan penutup. *]
COMMENTS