Hikmah Berkurban Oleh: Ahmad Ali MD Tashih MUI- SATU di antara karakteristik perayaan Idul Adha adalah berkurban, yaitu menyembelih hewan kurban y
Hikmah Berkurban
Oleh: Ahmad Ali MD
Tashih MUI- SATU di antara karakteristik perayaan Idul Adha adalah berkurban, yaitu menyembelih hewan kurban yang telah memenuhi syarat, dan dilakukan dengan tata cara tertentu pula. Berkurban adalah syariat ajaran Islam yang sangat penting dilaksanakan. Ini karena, menurut mazhab Hanafiyah, setiap orang yang mampu berkurban, maka wajib berkurban satu kali dalam hidupnya, dalam arti jika ia tidak berkurban, maka tidak berdosa, tetapi ia terhalang dari mendapatkan syafaat Nabi SAW. Dasar hukumnya hadis Nabi SAW.: ”Siapapun yang mendapatkan keluasan rizki (kemampuan) tetapi tidak berkurban, maka janganlah sekali-kali mendekati tempat salat kita.” (HR Ahmad dan Ibn Mâjah dari Abu Hurairah)
Menurut mayoritas ulama (Jumhur), seperti mazhab Syafi’i, yang umumnya dianut masyarakat Indonesia, hukum berkurban itu sunnah muakkad, sangat dianjurkan bagi orang yang mampu. Dasar hukumnya antara lain hadis Ummu Salamah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Jika kalian melihat Hilal bulan Dzulhijjah dan salah seorang kalian ingin berkurban, maka hendaklah ia memelihara rambutnya dan kuku-kukunya, yakni tidak memotongnya.” (HR Al-Jamaah selain al-Bukhari). Hadis ini menunjukkan bahwa berkurban itu tergantung pada keinginan, dan hal ini berarti tidak wajib, tetapi sunnah muakkad. Ketentuan hukum itu menunjukkan begitu pentingnya berkurban.
Apa sejatinya hikmah berkurban? Untuk memahami hikmah menyembelih kurban, kita perlu merenungkan kembali sejarah kurban. Syariat kurban ini mengikuti syariat Nabi Ibrahim A.s., meskipun jauh-jauh hari benih-benihnya sudah ada pada masa Nabi Adam A.s., yakni ketika kedua anaknya, Habil dan Qabil, bersengketa, dan diputuskan harus berkorban untuk menentukan siapa yang bertakwa dan yang benar (QS. Al-Ma’idah [5]: 27). Nabi Ibrahim A.s. berawal dari mimpi agar menyembelih buah hatinya, Ismail, yang masih belia, meyakini bahwa mimpi itu adalah perintah Tuhan. Ia patuhi perintah-Nya untuk menyembelih Ismail itu, padahal itulah anak satu-satunya yang amat dia cintai dan sayangi, yang sudah begitu lama dinanti, setelah telah begitu lama belum dikaruniai anak. Dalam Al-Qur’an dikisahkan: ”Dan Ibrahim berkata: ”Sungguh aku harus pergi menghadap kepada Tuhanku. Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh. Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Ismail).” (QS. Al-Shaffât [37]: 99-101)
Terjadilah dialog dan musyawarah mufakat di antara Nabi Ibrahim, sang ayah, dengan Ismail, sang buah hatinya, dalam melaksanakan perintah Tuhan, sebagaimana direkam sangat indah dalam Kitab Suci Al-Qur’an. ”Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata: ”Wahai anakku! Sungguh aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab: ”Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipisnya, (untuk melaksanakan perintah Allah). Lalu Kami panggil dia, ”Wahai Ibrahim! sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Dan Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, ”Selamat sejahtera bagi Ibrahim.” Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh, dia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman. (QS. Al-Shaffât [37]: 102-111)
Tampak jelas dalam ayat di atas, Ismail, sang buah hati, menegaskan kesanggupan dirinya dijadikan korban sang ayah, dengan penuh keyakinan itu perintah Tuhan. Keduanya bertekad bulat dan bergegas melaksanakan perintah itu dengan penuh kesabaran dan kepasrahan total kepada-Nya. Karena keyakinan, kesabaran, dan kepasrahan total keduanya itu, Tuhan pun mencurahkan rahmat-Nya, menggantinya dengan hadiah hewan kurban yang besar (bi-dzibhin ‘azhîm), keduanya tidak ada yang jadi korban ataupun dikorbankan (tumbal).
Sembilan Hikmah Berkurban
Melalui kisah yang diabadikan dalam kitab suci Al-Qur’an, setidaknya ada Sembilan hikmah, nilai filosofis atau pelajaran penting dalam syariat kurban. Pertama, keimanan dan keyakinan kita kepada Tuhan dan agama-Nya, sebagaimana halnya Nabi Ibrahim dan Ismail, akan diuji, goyah ataukah kokoh! Kedua, keimanan menyaratkan keyakinan, yang mutlak diperlukan dalam menjalankan syariat Islam. Syair Arab menegaskan: ”Seseorang itu ditinggikan (dipenuhi cita-cita, dan derajatnya) berdasarkan keyakinannya; karena setiap orang yang tidak punya keyakinan maka tidaklah memperoleh kemanfaatan.” Ketiga, perjuangan dan keberhasilan dalam segala sendi kehidupan, termasuk menghadapi pandemi Covid-19, mutlak butuh pengorbanan, baik waktu, tenaga, pikiran, maupun harta benda, bahkan nyawa. Keempat, pengorbanan adalah bagian dari rasa syukur atas nikmat Tuhan. Kelima, pengorbanan adalah bagian dari takwa (melaksanakan perintah dan menjauhi larangan agama). Keenam, pengorbanan harus disertai dengan kesabaran, kepasrahan dan ketulusan (keikhlasan). Ketujuh, pengorbanan yang tulus diterima dan diberi balasan yang besar, sebagaimana dialami Nabi Ibrahim A.s. dan Nabi Ismail A.s. Kedelapan, keimanan harus diperkokoh bukan hanya bagi orang tua dan lanjut usia (lansia), tetapi juga harus ditanamkan dan ditumbuhkembangkan pada diri generasi muda, pemuda-pemudi, bahkan sejak anak usia dini. Kesembilan, harus ada kerjasama, antara yang tua dan yang muda, dan semua pihak, dalam kebaikan dan amal saleh, guna kesuksesan, termasuk menghadapi pandemi Covid-19. Begitu indahnya kerjasama dalam berkurban, yang dilakukan Nabi Ibrahim a.s. dan Ismail. Itulah contoh dan bukti kerjasama yang baik dalam kesalehan guna meraih ketakwaan dan rida Tuhan, bukan kerjasama atau tolong-menolong dalam kemaksiatan, perbuatan dosa, dan permusuhan, yang jelas dilarang (QS. Al-Ma’idah [5]: 2).
Dengan uraian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa hikmah berkurban adalah meneladani kesalehan Nabi Ibarahim A.s. dan Nabi Ismail A.s., yaitu bentuk perjuangan dan pengurbanan guna aktualisasi keimanan dalam wujud amal saleh untuk meraih rida Allah SWT. Intisari hikmah berkurban adalah bahwa berkurban itu haruslah didasarkan kepada keimanan, kesabaran, kepasrahan dan keikhlasan untuk mencapai kemaslahatan, kebaikan dan ridha Allah SWT. Dengan begitu, kita akan mendapat maslahat (manfaat) dari aktivitas ibadah kurban, baik manfaat individual, keagamaan maupun manfaat sosial kemanusiaan.
*Tulisan telah dimuat di Buletin Jumat Risalah NU, Edisi 181, Juli 2021.
COMMENTS