Ayo Berislam Secara Benar!

HomeKolom

Ayo Berislam Secara Benar!

Oleh: Ahmad Ali MD Taahih MUI- Begitu banyak di antara kita, penganut agama Islam, tetapi dalam faktanya, sikap, ucapan dan perilakunya jauh dari ce

Buletin Jumat: Aktualisasi Substansi Ajaran Salat dan Puasa dalam Sendi-sendi Kehidupan
Quotes Tashih 1
Hikmah Berkurban

Oleh: Ahmad Ali MD

Taahih MUI- Begitu banyak di antara kita, penganut agama Islam, tetapi dalam faktanya, sikap, ucapan dan perilakunya jauh dari cerminan Islam itu sendiri. Contohnya, tidak mematuhi rambu-rambu lalu lintas, dan tidak mematuhi protokol kesehatan (Prokes), terutama di masa pandemi Covid-19 (Corona) ini; kedua perilaku ini jelas membahayakan diri dan/atau orang lain. Padahal sungguh Islam nyata, sesuai namanya, berakar kata al-silm berarti damai, dan selamat. Dalam bentuk fi‘l (kata kerja): Aslama yuslimu islâm-an, berarti berbuat damai, menyelamatkan, dan masuk Islam, menyerahkan diri secara total pada Agama Tauhid untuk keselamatan dunia dan akhirat. Misi Islam sebagai agama (al-Dîn) adalah terwujudnya rahmatan lil ‘alamin, kasih sayang, kedamaian, dan ketenteraman, bukan menimbulkan mafsadat atau madharat terhadap diri dan orang lain.

Al-Qur’an, firman Allah Taala, sumber utama ajaran Islam, dimulai dengan ayat Bismillâhir Rahmânir Rahîm. Hakikat kata Bismillâh itu mempunyai dua makna sekaligus. Pertama, mengingat keagungan Allah, yang merupakan ekspresi (ungkapan) tentang esensi atau hakikat iman itu sendiri. Iman mensyaratkan kepercayaan dan keyakinan pada keesaan Tuhan. Kedua, memahami sifat Tuhan sebagai Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Artinya keagungan Tuhan itu dijelaskan dalam sifat-Nya yang mengajarkan kasih sayang dan kerahmatan. Ayat ini meneguhkan bahwa dalam memulai dan melakukan setiap perbuatan baik harus mengingat keagungan Allah Taala sebagai Sang Penebar kasih sayang. Juga mengajarkan kita untuk membumikan kasih sayang sebagai ekspresi iman, sekaligus menciptakan kedamaian dan ketenteraman dalam semua sendi kehidupan: beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Oleh karena itu, membunuh jiwa tanpa hak (alasan yang benar menurut agama dan peraturan perundang-undangan) diharamkan dalam Islam. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Firman Allah SWT. yang artinya: ”Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.” (QS. al-Isrâ’ [17]: 33). Juga di ayat lainnya diperingatkan tentang ancaman terhadap orang yang membunuh bukan karena alasan yang benar maka mendapat hukuman yang berat, azab dan kenistaan di hari Kiamat, akibat kejahatannya itu, kecuali mereka bertobat, beriman dan mengerjakan kebajikan, maka kejahatannya diganti Allah dengan kebajikan (mari simak QS. al-Furqân [25]: 68-70). Maksud membunuh dengan alasan yang benar adalah seperti qishash (membunuh sebagai balasan hukuman yang setimpal) terhadap kejahatan kemanusiaan atau extra ordinary crimes (kejahatan luar biasa), seperti terorisme, korupsi dan narkotika.

Hadits Nabi Muhammad SAW., sumber utama kedua ajaran Islam, menjelaskan pengertian seorang Muslim yang benar (lebih utama). Nabi SAW bersabda: ”Seorang muslim yang benar keislamannya ialah apabila orang-orang muslim selamat (merasa damai) dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR al-Bukhâri, Muslim, dan al-Nasâ’î dari Ibn ‘Umar r.a, dan al-Tirmîdzî dari Abû Hurairah r.a., dalam Kitâb al-Îmân). Dalam redaksi al-Bukhârî yang lain dari Abû Mûsa disebutkan, ”Para sahabat bertanya: Yâ Rasûlallâh: Islam manakah yang lebih utama? Dijawab: yaitu (Islamnya) sesorang yang orang-orang muslim lainnya selamat (aman) dari gangguan lisannya dan tangannya.” Dalam riwayat al-Tirmîdzî lainnya: ”Dan orang mukmin yang utama itu adalah orang yang bilamana manusia merasa aman darah (nyawa) mereka dan harta mereka.”

Nabi SAW. memerintahkan agar kita menjadi manusia yang saleh sosial, yakni menebarkan kedamaian, ketenteraman, menjalin dan mempererat tali silaturahim dan memberi makan orang yang membutuhkan, di samping juga saleh secara invidual, seperti salat malam. Inilah ajaran Islam yang mengantarkan pelakunya masuk ke dalam surga. (HR al-Tirmidzi dari ‘Abdullah bin Salam).

Cara Beramar Makruf Nahi Mungkar

Demikian pula dalam menegakkan ajaran Islam; beramar makruf nahi mungkar, yakni menyeru kepada kebaikan dan melarang kemungkaran, harus pula dilakukan dengan benar. Terdapat hadits populer, riwayat Muslim dari Abû Sa‘îd al-Khudzrî ra.: ”Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran maka hendaklah ia rubah dengan tangannya, dan jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya, dan bila tidak mampu, maka dengan hatinya, demikian itu selemah-lemah iman.” Hadis amar makruf nahi mungkar dengan tangan, lisan, dan hati ini dijelaskan secara baik oleh Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jîlânî al-Hasanî: bahwa amar makruf nahi mungkar itu dilakukan sesuai dengan kompetensi dan kecakapan tiap-tiap orang. Nahi mungkar dengan tangan, senjata atau kekuatan fisik dilakukan penguasa atau aparat berwenang. Nahi mungkar dengan lisan (ucapan), nasehat, ceramah, pidato bijaksana, termasuk melalui tulisan, dilakukan ulama, intelektual dan cendekiawan. Sedangkan nahi mungkar dengan hati, yakni pengingkaran hati terhadap kemungkaran, dilakukan orang biasa (orang awam).

Syaikh ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî dalam kitabnya al-Ghunyah li-Thâlibi Tharîq al-Haqq (Juz I, hlm. 51-52), juga membuat lima syarat yang ketat dalam beramar makruf nahi mungkar, yaitu: 1) mengetahui apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang agama; 2) bertujuan meraih ridha Allah, meluhurkan agama dan meninggikan kalimat-Nya; 3) dilakukan dengan lemah lembut, kasih sayang, dan bijaksana; 4) dilakukan dengan kesabaran, kerendahan dan kestabilan hati, laiknya dokter yang mengobati pasien dan psikiater yang mengobati orang sakit jiwa, secara cermat dan sungguh-sungguh, serta memberikan teladan dan petunjuk; dan 5) mengetahui strategi yang tepat mengenai sesuatu yang diperintahkan atau yang dilarangnya agar tepat sasaran, tidak kontra produktif.

Demikian juga konsep jihâd yang benar. Jihad dapat berarti: 1) berperang untuk menegakkan Islam dan melindungi orang-orang Islam; bukan justru memerangi sesama orang Islam; 2) memerangi hawa nafsu; 3) mendermakan harta benda untuk kebaikan Islam dan umat Islam; dan 4 ) Memberantas yang batil, seperti kejahatan narkotika dan terorisme, dan menegakkan yang hak, serta memutuskan hukum dengan adil. Jadi, jihâd dalam konteks modern saat ini harus ditempatkan dalam landasan maqâshid al-Syarî‘ah (tujuan Syariat/ajaran Islam), yaitu untuk menegakkan keadilan, kedamaian dan ketenteraman.

Jihâd teroris maupun anarkis lainnya tidaklah sejalan dengan tujuan Islam. Jihâd kemanusiaanlah yang mencerminkan tujuan Islam, sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin ini. Jadi, seluruh tindakan kita yang terkait dengan tanggung jawab individual maupun sosial harus ditempatkan dalam kerangka maqâshid al-Syarî‘ah (tujuan ajaran Islam), yaitu menebarkan rahmat, kasih sayang, keadilan, kedamaian dan kemaslahatan bagi semesta alam. Ayo berislam secara benar!

Ahmad Ali MD, Wakil Sekretaris Lembaga Pentashih Buku dan Konten Keislaman Majelis Ulama Indonesia (LPBKI MUI), dan Pemateri Keislaman di Tiga Benua (Asia, Afrika, dan Eropa)

*) Telah dimuat di Buletin Jumat Risalah NU, Edisi No. 160, Februari 2021

COMMENTS

WORDPRESS: 0
DISQUS: 0