Arahan Wakil Presiden RI Pada Acara Penguatan Peran Ulama Menanggulangi Covid-19

HomeAgenda dan Berita

Arahan Wakil Presiden RI Pada Acara Penguatan Peran Ulama Menanggulangi Covid-19

Tashih MUI - Arahan Wakil Presiden RI Pada Acara Penguatan Peran Ulama/Habaib/Kiai dalam Penanggulangan Covid-19 .اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ

Webinar Pengembangan Literasi dan Pendidikan Islam
Lembaga Pentashih Buku dan Konten Keislaman MUI Rumuskan Tiga Agenda Utama
MUI Luncurkan Buku Tuntunan Shalat 3D

Tashih MUI – Arahan Wakil Presiden RI Pada Acara Penguatan Peran Ulama/Habaib/Kiai dalam Penanggulangan Covid-19

.اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْمِ اللهِ، وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ. سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ
.اَللّٰهُمَّ ارْزُقْنَا الْمَعَارِيْفَ الرَّبَّانِيَّةَ وَالْعُلُوْمَ اللَّدُوْنِيَّةَ، وَبَلِّغْنَا رُتْبَةَ الْإِحْسَانِ وَوِحْدَةَ الشُّهُوْدِ، وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Yang saya hormati,

– Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Republik Indonesia;

– Satuan Tugas Penanganan Covid -19 Nasional, Satuan Tugas Penanganan Covid -19 Provinsi, Kabupaten. Dalam hal ini juga Bapak Gubernur, Bapak Bupati, Bapak Walikota;

– ‘Ulamâ’nâ al-Kirâm wa-Habîbanâ al-Afadhil, wabil khusus Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia K.H. Miftahul Akhyar, Habib Zein Bin Smith, Habib Nabil Musawa, dan para ulama dan habaib yang hadir, baik yang luring maupun daring;

Terlebih dahulu saya ingin menyampaikan terimakasih atas kesediaan al-Mukarramîn para ulama untuk berkenan mengikuti acara ini, semoga dengan pertemuan ini akan membawa keberkahan dan kemanfaatan.
Pertama, saya atas nama pemerintah, tapi yang kedua saya atas nama sahabat daripada para ulama/habaib dan para kiai semua, yang di mana kita semua di-kiai-kan, atau dianggap sebagai kiai, jadi sama-sama orang yang dianggap sebagai kiai, saya ingin mengajak sahabat-sahabat saya semua, ashhâbî wa-zumalâ’î, untuk bersama-sama pemerintah menanggulangi bahaya Covid-19 yang demikian besar dan dahsyatnya. Saya menggunakan istilah bersama-sama, bukan membantu pemerintah, tapi bersama-sama pemerintah. Karena menanggulangi bahaya Covid ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi tanggung jawab kita semua. Menanggulangi Covid-19 itu merupakan tanggung jawab kebangsaan dan kenegaraan (mas’ûliyyah wathâniyyah).

Dua tanggung jawab ini merupakan bagian dari tanggung jawab ulama (wahâdzâni al-mas’ûliyyataini min jumlat mas’ûliyyat al-‘ulamâ’). Dan sekarang -seperti yang disampaikan oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia- bahwa Covid-19 ini tingkat bahaya (dharar)-nya sudah luar biasa. Korbannya sudah banyak. Yang terkonfirmasi, yang terkena Covid-19, juga sudah sangat banyak. Yang meninggal juga cukup banyak. Ini saya kira hal yang saya ingin sampaikan kepada para kiyai, bahwa tingginya kasus Covid-19 saat ini sehingga menyebabkan rumah sakit-rumah sakit tidak mampu menampung dan ada kekurangan oksigen.

Tenaga kesehatan yang wafat karena Corona pertanggal 6 Juli 2021 telah mencapai seribu lebih. Tenaga perawat, tenaga Dokter sebanyak 405 orang. Untuk jadi dokter itu tidak mudah, bukan setahun atau dua tahun. Tetapi sekarang banyak yang menjadi korban. Tenaga perawat 399 orang, 166 orang Bidan, 43 Dokter Gigi, 32 Ahli Tenaga Laboratorium, dan seterusnya- seterusnya. Selain itu juga, ulama yang wafat dalam suasana Covid ini lebih dari 541 ulama, terdiri dari 451 laki-laki dan 90 perempuan. Ini juga merupakan kehilangan besar, karena mencetak ulama itu tidak gampang dan tidak mudah juga. Jadi, bahaya Covid-19 ini nyata dan jelas (‘iyânan zhâhiran). Itulah sebabnya, saat ini Pemerintah menetapkan, menerapkan dan memberlakukan pengetatan dan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM Darurat. Pemberlakuan PPKM ini dimaksudkan untuk menghilangkan Covid-19, untuk melindungi/menjaga masyarakat dan umat supaya tidak menjadi korban. Covid-19 bukan saja membawa korban di bidang kesehatan, tapi juga di bidang sosial-ekonomi. Sekarang banyak orang yang kehilangan pekerjaan sehingga menjadi orang miskin baru. Ekonomi juga mengalami kemerosotan. Jadi dampak dari Covid -19 ini tidak hanya satu sisi, satu sektor, tapi berbagai sektor.

Kenapa Pemerintah melakukan pembatasan?. Karena berdasarkan laporan SATGAS, bahwa di antara yang menyebabkan tingginya penyebaran Covid-19 antara lain: kurang patuhnya masyarakat melaksanakan protokol kesehatan; kurang patuhnya menggunakan masker; kurang patuhnya menaati jaga jarak; dan masih banyaknya di masyarakat adanya kegiatan keagamaan yang berkerumun, seperti salat jamaah di berbagai masjid. Hal-hal ini bagian yang dianggap berpengaruh pada semakin tingginya kasus Covid-19 saat ini. Ada juga faktor-faktor lain yang menjadi penyebab, seperti banyak yang belum mau ditest dan belum mau divaksin. Masih banyak juga orang yang kalaupun sudah tahu dia terkena Covid tapi tidak mau diisolasi. Inilah hal-hal yang terjadi juga di masyarakat. Oleh karena itu, Pemerintah melakukan pengetatan-pengetatan, termasuk juga melakukan pengetesan yang massif dan penelusuran (tracking). Untuk apa? Supaya jangan sampai orang yang positif Covid berkeliaran di mana-mana, karena tidak terisolasi, sehingga menularkan kepada orang lain. Jangan sampai kita itu kayak gunung es, atasnya terlihat sedikit tapi di bawah sebenarnya sangat banyak. Penyebabnya karena belum dites atau belum terkena, belum bisa ditelusuri. Pemerintah sekarang juga pontang-panting menyiapkan perawatan. Sampai banyak sekarang yang pasang tenda di rumah sakit, kekurangan oksigen, dan kekurangan tenaga kesehatan. Ini sebenarnya masalah bertumpuk-tumpuk yang sedang kita hadapi. Jadi apa yang dilakukan Pemerintah itu sebenarnya adalah untuk menjaga umat (himâyat al-ummah). Yaitu dalam rangka melaksanakan prinsip Tasharruf al-imâm ‘alâ al-ra‘iyyati manûthun bi-al-mashlahah, untuk menjalankan tugas Pemerintah dalam rangka membangun dan menjaga kemaslahatan untuk semua (li-mashlahat al-‘mujtama‘). Dan itu sesuai dengan ajaran Islam dan prinsip-prinsip Syariat, serta sesuai dengan maksud diturunkannya Syariat (maqâshid al-Syarî‘ah). Sebab di antara maqashid al-Syarî‘ah seperti yang disimpulkan oleh para ulama, oleh Imam Ghazali dan juga oleh para Ulama lain, selain menjaga agama (hifzh al-dîn), juga menjaga jiwa (hifzh al-nafs), yaitu jangan sampai menjadi korban, di samping juga menjaga akal (hifzh al-‘aql), menjaga keturunan (hifzh al-nasl), dan menjaga harta (hifzh al-mâl). Ini semua maqâshid al-Syarî‘ah yang harus kita jaga. Jadi menjaga jiwa supaya jangan sampai menjadi korban Covid itu merupakan tujuan dari Syariat Islam.

Karena itu, kita wajib menjalankan itu semua. Bahkan Syekh Nawawi Al-Bantani mengatakan bahwa menjaga diri dan orang lain dari wabah (al-ihtirâz ‘an al-wabâ’), dan melakukan pengobatan dengan obat (al-‘ilâj bi-al-dawâ’) hukumnya adalah wajib. Syekh Nawawi ketika menafsiri ayat:

….خُذُوْا حِذْرَكُمْ…

(QS. Al-Nisâ’ [4]: 71 -Red.) *)

mengatakan bahwa ayat itu selain menganjurkan agar kita bersiap menjaga diri dari bahaya musuh, juga agar bersiap diri dari bahaya lain. Beliau mengatakan:

وَهٰذِهِ الْأٰيَةُ تَدُلُّ عَلَى وُجُوْبِ الْحِفْظِ عَنِ الْمَضَارِّ الْمَظْنُوْنَةِ

Artinya: ayat ini juga menunjukkan wajibnya menjaga diri dari bahaya yang diduga akan datang.

Sekarang bahaya Covid itu bukan diduga (mazhnûnah) lagi, tapi termasuk al-madhâr al-mutayaqqanah, yaitu bahaya yang sudah diyakini, dan al-madhâr al-bayyinah, yaitu bahaya yang sudah nyata. Korbannya sudah jelas dan banyak sekali. Oleh karena itu, menjaga diri dari Covid hukumnya wajib.

Itulah sebabnya Syekh Nawawi mengatakan:

وَلِذَاِلكَ الْعِلَاجُ بِالدَّوَاءِ وَالْاِحْتِرَازُ عَنِ الْوَبَاءِ وَاجِبٌ

Artinya: Karena itu, berobat dan menjaga diri dari wabah penyakit hukumnya wajib.

Jadi menjaga keselamatan jiwa (hifzh al-nafs) menurut maqâshid al-Syarî‘ah hukumnya wajib. Sebagaimana pandangan ulama seperti Syekh Nawawi yang juga menyatakan wajib menjaga diri dari wabah. Dalam konteks ini, lebih jauh Syekh Nawawi mengatakan:

إِذَا وًجَبَ الْإمَامُ بِوَاجِبٍ تَأَكَّدَ وُجُوْبُهُ

Artinya: jika Pemerintah mewajibkan sesuatu yang wajib, maka wajibnya menjadi lebih kuat (mu’akkad). (***)

Menjaga keselamatan diri hukumnya wajib (hifzh al-nafs wâjib) dan menjaga diri dari penyakit juga wajib (wa-al-ihtirâzu ‘an al-wabâ’i wâjib). Nah, sekarang pemerintah mewajibkan itu semua. Sehingga menaati perintah tersebut hukumnya wajib muakkad.

Lebih lanjut Syekh Nawawi menyatakan:

وَإِذَا وَجَبَ بِمُسْتَحَبٍّ وَجَبَ

Artinya: Jika Pemerintah mewajibkan sesuatu yang secara syariat sunah, maka hukumnya menjadi wajib. (***)

Bahkan beliau mengatakan:

.وَإِذَا وَجَبَ بِمُبَاحٍ إِنْ كَانَتْ فِيْهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ وَجَبَ

Artinya: Jika pemerintah mewajibkan sesuatu yang secara syariat mubah (boleh), tapi diwajibkan karena ada kemaslahatan umum (mashlahah ‘âmmah) maka hukumnya menjadi wajib. (***)

Nah, dalam konteks ini menjaga diri dari Covid-19 adalah sesuatu yang wajib. Dan PPKM dengan maksud menjaga umat juga merupakan mashlahah ‘âmmah, maka secara syar’i menaati aturan PPKM tersebut seharusnya wajibnya bukan saja muakkad, tapi sangat muakkad-nya. Karena mewajibkan sesuatu yang sudah wajib dan membawa mashlahah ‘âmmah.

Menurut saya, ini semua menjadi tanggung jawab kita para ulama, habaib dan kiai. Itulah kenapa di awal tadi saya mengatakan: bukan membantu Pemerintah, tetapi saya ingin mengajak para sahabat, teman dan kolega saya (ikhwânî wa-ashhâbî wa-zumalâ’î) untuk bersama-sama menghadapi bahaya Covid ini. Karena hal itu merupakan tanggung jawab kita (mas’ûliyyatinâ), sebagai ulama/habaib/kiai yang memang memiliki tugas untuk itu.
Ada pertanyaan, kenapa sampai dilarang berkerumun, termasuk berjamaah dan berjum’at. Ya itu dilakukan sebagai upaya menjaga diri dari wabah Covid ini (ihtirâzun ‘an al-wabâ’). Berjamaah itu hukumnya sunah, tetapi menjaga diri dari wabah Covid hukumnya wajib. Hal yang wajib harusnya didahulukan daripada yang sunah. Saya mengerti, mungkin banyak di antara ulama yang sudah sampai kedudukan tinggi, yaitu bergantung hanya pada Allah (maqâm at-tajrîd), sehingga dia tidak memerlukan hukum sebab-akibat (asbâb). Tetapi umat kita, pengikut kita, jamaah kita, mereka belum sampai pada maqâm tajrîd tersebut. Bahkan ulama/habaib/kai sendiri mungkin juga banyak yang belum sampai maqâm tajrîd tersebut, dan masih pada maqam sebab-akibat (fî maqâm al-asbâb). Sehingga apabila mereka diajak untuk menjalankan maqâm tajrîd, itu hakekatnya adalah bagian dari dorongan syahwat atau hawa nafsu tersembunyi, sebagaimana disampaikan Ibnu ‘Athâillâh al-Sakandarî:

.إِرَادَتُكَ التَّجْرِيْدَ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي الْأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الْخَفِيَّةِ

Keinginanmu pada maqâm tajrîd padahal Allah menempatkanmu di maqâm asbâb itu termasuk syahwat yang samar.

Berdasarkan hal itu, karena kita ini masih di maqâm al-asbâb (tingkat yang terikat hukum sebab-akibat), sehingga kita harus tetap bergelut di level sebab-akibat (fî maqâm al-asbâb). Hal ini pernah dicontohkan Sayyidina ‘Umar RA, ketika beliau dan rombongan akan masuk Syam, ternyata di Syam sedang ada tha’un. Setelah beliau diberitahu hadis Rasulullah SAW., yang menyatakan bahwa jangan kamu masuk ke wilayah yang ada wabahnya, dan orang yang di dalam jangan keluar dari wilayah itu. Maka Sayyidina ‘Umar membatalkan untuk masuk ke Syam. Saya kira Sayyidina ‘Umar maqâm-nya sudah bukan lagi di maqâm tajrîd, tapi sudah lebih tinggi lagi. Tapi beliau tau bahwa umatnya, pengikutnya, bahkan di antara sahabatnya masih di maqâm asbâb. Karena itu, beliau membatalkan untuk masuk ke Syam yang sedang dilanda tha’un. Hal itu beliau lakukan demi menjaga umat dari kemungkinan terkena wabah (al-ihtirâz ‘an al-wabâ’).

Jadi hari ini saya selain sebagai Pemerintah yang harus menyampaikan berbagai masalah yang kita hadapi, juga saya sebagai sahabat ingin mengajak para ulama/habaib/kiai, teman-teman dan para sahabat saya (ashhâbî wa-zumalâ’î), untuk bersama Pemerintah menjaga umat kita dan menjaga bangsa kita dari bahaya Covid-19. Suasana kita sudah cukup genting. Hari ini dan kemarin kita termasuk paling tinggi yang tertular di dunia dari 22 negara. Yang meninggal juga paling tinggi. Itu dirilis secara internasional. Sudah, cukup. Apa kita tidak merasa punya tanggung jawab terhadap hal yang demikian besar ini, yang sudah banyak membawa derita dan korban.

Karena itu, mari kita ajak masyarakat untuk mematuhi dan mengikuti aturan Pemerintah. Termasuk juga saya minta, sesuai dengan kebutuhan, nanti saat Idul Adha jangan sampai ada aktifitas kerumunan yang bisa menyebabkan terjadinya mata rantai penularan, termasuk salah satunya dalam menjalankan ibadah Idul Adha, baik di masjid maupun di luar masjid. Ya, apa yang menjadi aspirasi para ulama sudah saya perjuangkan dan alhamdulillah sudah diakomodasi. Yaitu terkait dengan aspirasi agar tidak ada penutupan masjid. Di dalam aturan yang terbaru sudah disebutkan bahwasanya tidak ada lagi kata-kata menutup masjid. Yang ada hanyalah dilarang untuk berkerumun. Bahkan supaya nanti tidak ada perbedaan, yang dulunya orang resepsi dibolehkan dengan jumlah 30 orang, maka sekarang ditiadakan. Resepsi tidak boleh sama sekali. Jadi, ini sudah sesuai dengan tuntutan para ulama/habaib/kiai.

Yang diatur itu berkerumun seperti berjamaah salat rawatib maupun Jum’at, termasuk juga Id. Dan Id itu tidak hanya di dalam masjid, tapi juga di luar masjid. Pengaturan tersebut sampai keadaan nanti sudah memungkinkan lagi. Alasannya karena ada bahaya, ada dharar, yang harus kita hindari, dan ada ajaran agama yang membolehkan kita mengambil keringanan (rukhshah) karena ada kesulitan (masyaqqah). Jadi, kalau ada masyaqqah dan ada bahaya (dharar), tapi tetap kita terjang saja, ini kan tidak diperkenankan dalam agama, sepanjang ada keringanan (rukhshah) yang memang ada.

Dalam hal ini agama menyediakan kemudahan (at-taisîr). Kita memang tidak boleh hanya mencari kemudahan-kemudahan saja (al-mubâlaghah fî at-taisîr), karena hal itu termasuk mencari-cari kemudahan saja (tatabbu‘ al-rukhash) yang dilarang oleh agama. Agama membolehkan mengambil kemudahan yang terstruktur (at-taisîr al-manhajî), sesuai kaidah al-masyaqqatu tajlibu at-taisîr, artinya: kondisi sulit dan bahaya mendatangkan kemudahan. Maka rukhshah itu bisa kita pakai. Untuk apa? Untuk menjaga dan melindungi umat (li-himâyat al-ummah). Dan tentu juga sesuai dengan anjuran Syariat agama dan maqâshid as-Syarî‘ah.

Selain itu saya juga minta kepada para ulama/habaib/kai untuk berdoa dan bermunajat kepada Allah agar bangsa kita segera keluar dari wabah Covid-19. Saya yakin di antara para ulama/habaib/kiai ini, banyak yang dekat dengan Allah (min al-muqarrabîm). Ada Rijâl (tokoh-tokoh) yang oleh Rasulullah disebut bi-him turzaqûn, artinya: karena mereka kamu diberi rezeki, dan wa-bihim tusqaun, artinya: karena mereka kamu diberi hujan, dan wa-bihim tunsharûn, artinya: karena mereka kamu diberi pertolongan. Yaitu orang-orang yang apabila meminta akan diberi (idzâ sa’alû u‘thû), dan orang-orang yang apabila berdoa akan diijabah (wa-idzâ da‘au ustujîbû). Sekali lagi saya minta kepada para tokoh ini (rijâl), mari kita berdoa kepada Allah SWT mohon untuk keselamatan bangsa dan negara, sebab mereka adalah rijâlullâh, tokoh-tokoh Allah yang kalau meminta, kalau berdoa dikabulkan oleh Allah SWT. Ini saya yakin di antara para ulama/habaib/kiai ada orang-orang seperti itu.

Terakhir saya ingin juga mengajak para kiai untuk menjaga umat ini dari berbagai informasi-informasi, isu-isu yang tidak benar. Sekarang ini zamannya informasi, banjir informasi, ada yang benar, ada yang tidak benar. Ada yang bohong, ada yang fitnah, ada hoax, ada adu domba. Semua bercampur-baur di dalam masyarakat. Banyak masyarakat tidak bisa membedakan mana informasi yang benar dan mana yang bohong. Makanya dinamakan ini era Post Truth, artinya pasca-kebenaran, di mana kebenaran tersamarkan dengan kebohongan-kebohongan. Ini sekarang sedang terjadi, termasuk informasi tentang konspirasi, bahwasanya Covid adalah konspirasi. Padahal Covid ini adalah sesuatu yang nyata. Bukan konspirasi. Karena itu saya menamakan sekarang ini, era ini, zaman ini, sebagai era terserupakan zamân al-isytibâh. Sehingga orang bisa keliru, bisa salah menerima informasi kalau tidak teliti, tidak tabayyun. Karena itu tepatlah apa yang diajarakan oleh Rasulullah SAW. doa:

.اَللّٰهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ

Ya Allah, perlihatkan kepada kami yang benar itu nampak benar dan berikan kemampuan untuk mengikutinya,

وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا

perlihatkan kepada kami yang batil itu batil,

وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ

dan berikan kepada kami kemampuan untuk bisa menjauhinya

وَلَا تَجْعَلْهُمَا مُلْتَبِسًا عَلَيْنَا فَنَضِلَّهُ

jangan sampai yang hak dan yang batil, yang benar dan yang bohong kemudian itu terserupakan, sehingga kita tidak bisa membedakan benar dan tidak benar.

Pengalaman ini juga sebenarnya sudah terjadi di zaman Nabi. Para kiai semua tahu, para ulama tahu ketika hadîts al-ifk, di mana istri Nabi yang mulia Sayyidah ‘Aisyah dituduh berzina, sampai terjadi hampir terbelah masyarakat Madinah. Masyarakat yang sudah dipersatukan oleh Rasululllah Bain al-Anshâr wa-al-Muhâjirîn, Anshar dan Muhajirin disatukan. Sahabat Anshar sendiri terdiri dari kabilah Aush dan kabilah Khazraj, yang mulanya berseteru, tapi dapat disatukan oleh Rasulullah, sehingga menjadi ummatan wâhidah, umat yang utuh dan satu. Tapi gara-gara ini, bahkan juga keluargapun terpecah gara-gara hadîts al-ifk, berita hoax , berita bohong itu. Itu terjadi. Dan provokatornya tidak lain adalah orang yang di sekitar situ,

….اِنَّ الَّذِيْنَ جَاۤءُوْ بِالْاِفْكِ عُصْبَةٌ مِّنْكُمْۗ

orang-orang yang menghembuskan tuduhan tidak lain berasal dari golongan kamu juga, di dalam situ juga. **)

Untung saja, kabar bohong tersebut selesai dengan turunnya wahyu, yang kemudian menjadi tabriatu ifkin. Tapi sekarang, jika ada kabar bohong tidak akan ada wahyu yang turun untuk menjernihkan, karena qad inqatha‘a al-wahyu, wahyu sudah putus dan sudah tidak ada. Karena itu, di sinilah peran ulama, peran kiai untuk membimbing masyarakat, untuk menunjukkan mereka, untuk tidak serta-merta menerima setiap informasi. Semua harus dicek dulu, check and recheck, diteliti dulu. Ini juga bagian dari tugas para ulama, supaya fî zamân al-iltibâs, di masa kesamaran-kesamaran antara benar dan bohong, atau era Post Truth ini menjadi lebih berhati-hati.

Barangkali itu yang dapat saya sampaikan, sekali lagi saya selain sebagai pemerintah, tapi lebih banyak atau lebih besar yang saya inginkan adalah peran saya sebagai sahabat, saya mengajak para kiai, para ulama (ashhâbî wa-zumalâ’î) untuk bersama-sama pemerintah kita berjuang, berjihad menghadapi bahaya Covid yang demikian dahsyatnya, yang tidak hanya menimpa Indonesia tapi juga menimpa seluruh dunia. Karena itu bahaya Covid adalah bahaya global (al-dharar al-‘âm) yang sudah melimpah ke mana-mana, ke seluruh dunia.

Demikian, kurang lebihnya mohon maaf.

.إِنْ أُرِيْدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ، وَمَا تَوْفِيْقِيْ إِلَّا بِاللهِ، وَاللهُ الْمُوَفِّقُ إِلَى أَقْوَمِ الطَّرِيْقِ

.وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Jakarta, 12 Juli 2021

Prof. Dr. K.H. Ma’ruf Amin


—–

Notes:

Teks ini merupakan transkrip dari Arahan langsung Wapres RI, yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (DP MUI), Masa Khidmat 2020-2025 dari Sumber: Youtube Wakil Presiden Republik Indonesia: https://www.youtube.com/watch?v=LUeSYrKnWCk

*)Ayat dimaksud lengkapnya:

.اِنَّ الَّذِيْنَ جَاۤءُوْ بِالْاِفْكِ عُصْبَةٌ مِّنْكُمْۗ لَا تَحْسَبُوْهُ شَرًّا لَّكُمْۗ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْۗ لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ مَّا اكْتَسَبَ مِنَ الْاِثْمِۚ وَالَّذِيْ تَوَلّٰى كِبْرَهٗ مِنْهُمْ لَهٗ عَذَابٌ عَظِيْمٌ

”Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah kelompok di antara kamu (juga). Janganlah kamu mengira bahwa peristiwa itu buruk bagimu, sebaliknya itu baik bagimu. Setiap orang dari mereka akan mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya. Adapun orang yang mengambil peran besar di antara mereka, dia mendapat azab yang sangat berat.” (QS. Al-Nûr [24]: 11)

**)Ayat dimaksud lengkapnya:

.يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا خُذُوْا حِذْرَكُمْ فَانْفِرُوْا ثُبَاتٍ اَوِ انْفِرُوْا جَمِيْعًا

”Wahai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah dan majulah (ke medan pertempuran) secara berkelompok-kelompok atau majulah bersama-sama (serentak).” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 71)

***) Statemen Syekh al-Nawawi al-Bantani (1230-1316 H/1813-1899 M), ulama dunia asal Nusantara, dalam kitab Nihâyat al-Zain (1971: 112), redaksi lengkapnya berbunyi: 

إِذَا أَمَرَ بِوَاجِبٍ تَأَكَّدَ وُجُوْبُهُ، وَإِذَا أَمَرَ بِمَنْدُوْبٍ وَجَبَ، وَإِنْ أَمَرَ بِمُبَاحٍ: فَإِنْ كَانَ فِيْهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ كَتَرْكِ شُرْبِ الدُّخَانِ وَجَبَ، بِخِلَافِ مَا إِذَا أَمَرَ بِمُحَرَّمٍ أَوْ مَكْرُوْهٍ أَوْ مُبَاحٍ لَا مَصْلَحَةَ فِيْهِ عَامَّةً.

Artinya: ”Apabila pemimpin suatu pemerintahan/negara memerintahkan perkara wajib, maka kewajiban itu menjadi semakin kuat; jika memerintahkan perkara sunnah, maka sesuatu yang sunah itu menjadi wajib; dan jika memerintahkan perkara mubah–bila di dalamnya terdapat kemaslahatan publik–maka wajib dipatuhi, seperti larangan merokok. Hal ini berbeda bila ia memerintahkan perkara haram, makruh ataupun mubah yang tidak mengandung kemaslahatan publik, maka tidak wajib dipenuhi.” 

[–Red. AMD]

Sumber: https://www.tashihmui.id/arahan-wakil-presiden-ri-pada-acara-penguatan-peran-ulama-menanggulangi-covid-19/

COMMENTS

WORDPRESS: 0
DISQUS: 2